Rabu, 30 November 2011

Hasil Pengamatan Pelinggih Padmasana Dalam Kaitannya Dengan Kehidupan Alam Semesta


1.Gambar Padmasana





2.Simbol-Simbol Pada Padmasana

Bedawangnala :Dalam Lontar Kaurawasrama disebutkan bahwa dasar dari bumi adalah bedawangnala. Beda = ruang; wang = ada; nala = api (ruang yang ada api = inti bumi). Di Padmasana, bedawangnala disimbolkan sebagai kura-kura raksasa yang dililit dua ekor naga. Kura-kura raksasa itu adalah simbol Wisnu yang menyangga/menjadi dasar, dan dua ekor naga itu adalah simbol Naga Basuki (pemberi ketenangan) dan Naga Anantaboga (pemberi kemakmuran). Jadi arti keseluruhan simbol bedawangnala, adalah mempertahankan kelestarian bumi untuk memperoleh ketenangan dan kemakmuran. Di Kitab Agni Purana, makna simbol ini dikaitkan dengan mithologi pertempuran antara Dewa dengan Ditya, yang bisa diartikan sebagai perbedaan kepentingan, antara pihak yang ingin melestarikan bumi (Dewa) dan pihak yang ingin menghancurkan bumi (Ditya). Oleh karena itu Wisnu sebagai penyelamat merubah diri berbentuk kura-kura raksasa (Kurma Avatara) dibantu oleh dua ekor naga itu.

Garuda-Wisnu : Lontar Adi Parwa menyebutkan bahwa Garuda sebagai putra Sang Winata harus mencari Tirta Amerta (air kehidupan) ke sorga. Karena sulit mencari, Bhatara Wisnu meminta Garuda menjadi kendaraan-Nya. Berkat pertolongan Wisnu, maka Garuda mendapat tirta amerta.Makna simbol itu : pemuja Garuda Wisnu akan mendapat wara nugraha untuk berumur panjang.

Angsa : Sebagai kendaran Sanghyang Aji Saraswati, angsa dimaknai sebagai simbol kebijaksanaan berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan.

Patung di keempat sudut : masing-masing patung Iswara (purwa), Brahma (daksina), Mahadewa (pascima) dan Wisnu (uttara), adalah pemujaan pada Sanghyang Widhi yang berwujud catur dewata.

Acintya  : Simbol Sanghyang Widhi yang Maha Agung, tak terbayangkan, tak terlukiskan, mempunyai Asta Aiswarya (delapan kemahakuasan yaitu : Anima = sangat halus; Laghima = sangat ringan; Mahima = sangat besar; Prapti = menjangkau semua tempat; Isitwa = melebihi segalanya; Prakamya = berkehendak mutlak; Wasitwa = berkuasa; Kamawasayitwa = kodrati, tak dapat dirubah)
Tingkat-tingkat Padmasana : Bangunan Padmasana bertingkat tiga sebagai lambang alam semesta yang meliputi : Bhur - Bhuwah - Swah.

Makna Padmasana.: Padma = bunga teratai; sana = sikap duduk. Jadi Padmasana adalah bangunan suci bagi pelinggih Sanghyang Widhi dalam kedudukan-Nya secara vertikal : Siwa - Sadasiwa - Paramasiwa.

3.Bentuk-Bentuk Padmasana

Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa
Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya.
Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.

4.Crita Pemutaran Gunung Mandara

Bhagavata Purana 1.3.16:
surasuranam udadhim
mathnatam mandaracalam
dadhre kamatha-rupena
prstha ekadase vibhuh
Penjelmaan Tuhan yang kesebelas menjelma dalam bentuk kura-kura yang kulit-Nya menjadi poros sandaran untuk gunung Mandaracala, yang sedang dipergunakan sebagai alat pengocok oleh orang yang percaya kepada Tuhan dan yang tidak percaya kepada Tuhan di alam semesta


Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Sebelum Tirtha Amerta keluar terlebih dahulu keluar racun yang sangat mematikan dan untuk menyelamatkan semua mahluk hidup, Siva sebagai dewa yang paling agung akhirnya menelan racun tersebut sehingga badan beliau berubah menjadi kebiru-biruan. Di satu sisi para ular dan naga juga memakan tetesan-tetesan racun yang ditelan dewa Siva sehingga dikisakan bahwa sejak saat itu ular dan naga menjadi berbisa.
Setelah itu Tuhan menjelma sebagai Dhanvantari sambil membawa kendi berisi Tirta Amertha yang dinanti-nantikan. Dikisahkan bahwa Tirta Amerta tersebut jatuh ke tangan para Raksasa. Untuk mengelabui para raksasa, sekali lagi Tuhan menjelmakan dirinya sebagai gadis cantik yang sangat mempesona bernama Mohini. Para raksasa yang terpesona akan kecantikan-Nya akhirnya menyerahkan Tirta Amerta tersebut dan mulailah Dewi Mohini membagi-bagikannya. Dewi Mohini memberikan Tirta Amerta yang asli kepada para dewa dan membagikan yang palsu kepada para raksasa. Menyadari tipuan ini, seorang Raksasa bernama Rahu menyusup dalam barisan para dewa dengan harapan mendapatkan Tirta Amerta yang asli. Namun ketika Tirta Amerta tersebut baru sampai di kerongkongan Raksasa Rahu, Tuhan dalam wujudnya sebagai Sri Visnu langsung melesatkan Sudarsan Chakra-Nya sehingga memenggal kepada Raksasa Rahu.

5.Hubungan Padmasana dengan Arah Mata Angin

Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.
Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:

1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal:
MANIFESTASI
MATA ANGIN
Sangkara
Barat Laut (Wayabya)
Wisnu
Utara (Uttara)
Sambhu
Timur Laut (Airsanya)
Mahadewa
Barat (Pascima)
Ishwara
Timur (Purwa)
Rudra
Barat Daya (Nairity)
Brahma
Selatan (Daksina)
Mahesora
Tenggara (Aghneya)

2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)

3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.

Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana.
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha.
Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana.

Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.

Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah.

Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong.

Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.

3 komentar: